Mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara
keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan
dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untuk
hanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas penduduk
terhadap pembangunan yang yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya.
Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobolitas penduduk. Tetapi juga
tidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatan
pembangunan itu sendiri.
Pertanyaan paling mendasar dalam menelaah mobilitas penduduk adalah:
mengapa penduduk memutuskan untuk pindah atau tetap tinggal di tempat asalnya?
Sehubungan dengan pertanyaan ini, para pakar ilmu sosial melihat mobilitas penduduk
dari sudut proses untuk mempertahankan hidup (Wilkinson:1973; Broek, Julien Van
den:1996). Proses mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitu
dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
Meskipun demikian, banyak
studi memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk keputusan serta motivasi yang diambil oleh
induvidu akan sangat berlainan, antara karena alasan ekonomi dengan karena alasan
politik (Peterson,W:1995; Kunz, E.F.;1973).
Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan
migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned
migration). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan
berbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan
memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. Dalam hubungan ini tidak
ada unsur paksaan untuk melakukan migrasi.
Dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisa
mobilitas penduduk. Teori-teori tersebut selama ini telah mengalami perkembangan
yang sangat mendasar. Sejak teori mobilitas klasik “individual relocation” yang
dikembangkan oleh Ravenstein pada tahun 1985, saat ini telah berkembang teori yang
menekankan pada unsur sejarah, struktural, maupun kecenderungan global (Zolberg,
Aristide, R. : 1989).
Teori yang berorientasikan pada neoclassical economics sebagai contoh, baik
makro maupun mikro lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan kondisi
kerja antar daerah atau antar negara, serta biaya, dalam keputusan seseorang melakukan
migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang
didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum.
Aliran “new economics of migration”, dilain pihak beranggapan bahwa
perpindahan atau mobilitas penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja,
namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Aliran ini juga menekankan bahwa
keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata keputusan individu saja, namun
terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga. Dalam hal ini
keputusan untuk pindah tidak semata ditentukan oleh keuntungan maksimum yang akan
diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh kerugian yang minimal yang dimungkinkan dan
berbagai hambatan yang akan ditemui, dikaitkan dengan terjadinya kegagalan pasar
(market failures) (Taylor; 1968; Stark; 1991).
Berbeda dengan keputusan individu, keluarga atau rumah tangga berada pada
posisi yang lebih mampu menangani resiko ekonomi rumah tangga pada saat migrasi
dilakukan, melalui diversivikasi alokasi berbagai sumber yang dimiliki oleh keluarga
atau rumah tangga, seperti misalnya dengan alokasi tenaga kerja keluarga. Beberapa
anggota rumah tangga tetap bekerja di daerah asal, sementara yang lain bekerja di luar
daerah ataupun luar negara. Pembagian tersebut pada dasarnya merupakan upaya
meminimalkan resiko terhadap kegagalan yang mungkin terjadi akibat melakukan
perpindahan atau migrasi. Selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan rumah
tangga tersebut memperoleh penghasilan yang memadai maka pengiriman uang
(remittances) yang dikirim dari anggota rumah tangga yang bekerja diluar daerah
ataupun luar negara dapat membantu menopang ekonomi rumah tangga.
Aliran lain untuk menganalisis timbulnya minat melakukan migrasi adalah dual
labor market theory. Jika dua pendekatan terdahulu dapat dikelompokkan sebagai
“micro-level decision model”, maka aliran “dual labor market theory” mengemukakan
bahwa migrasi penduduk terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja yang bersifat
hakiki (intrisic labor demand) pada masyarakat industri modern (Piore: 1979). Menurut paham ini migrasi terjadi karena adanya keperluan akan klasifikasi tenaga kerja tertentu
pada daerah atau negara yang telah maju. Dengan demikian migrasi terjadi bukan
karena push factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena adanya pull factors
pada daerah tujuan; keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu yang tidak
mungkin dielakkan.
Mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan ekonomi memang akan
mendorong terjadinya mobilitas dan perpindahan penduduk. Penduduk akan berpindah
menuju tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi diri maupun
keluarganya, yang tidak lain adalah tempat yang lebih berkembang secara ekonomi
dibandingkan dengan tempat asalnya.
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya
menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu
daerah ke daerah lainnya. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk
lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah
perkotaan dan daerah perdesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan
mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal, seperti Kawasan Timur
Indonesia.
Sebagai contoh, adanya mobilitas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan dan ketidak merataan fasilitas
pembangunan antar daerah perdesaan dan daerah perkotaan. Selama masih terdapat
perbedaan tersebut, mobilitas penduduk akan terus berlangsung (Tjahyati, Budi : 1995).
Apalagi telah menjadi kenyataan yang secara umum diketahui bahwa pada beberapa
negara berkembang, konsentrasi investasi dan sumber daya pada umumnya berada di
daerah perkotaan (Rondineli and Ruddle: 1978 ).
Kenyataan tersebut semakin diperburuk karena perencanaan spasial di negaranegara berkembang lebih didominasi oleh pendekatan “dari atas” (Stohr and Taylor:
1981). Strategi pembangunan semacam ini didasarkan pada tujuan utama dari
pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ( Rondinelli and Rudlle: 1978).
Karena itu proses pembangunan terutama dipusatkan pada sektor industri di daerah
perkotaan, menekankan pada kegiatan ekonomi padat modal dan teknologi tinggi.
Perluasan industri cenderung diikuti dengan kebijaksanaan subtitusi impor dalam
rangka meningkatkan kemandirian ekonomi nasional. (Potter: 1985).
Sebagai tanggapan atas proses pembangunan secara keseluruhan, pendekatan
“dari bawah” (bottom-up) kemudian banyak dianut. Melalui pendekatan ini, tujuan
utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk
dari pada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi (Hansen: 1981). Karena itu
pendekatan “bottom-up” berupaya mengoptimalkan penyebaran sumber daya yang
dimiliki dan potensial keseluruh wilayah. Banyak pemerintah di negara-negara sedang
berkembang mengikuti aliran ini dengan maksud lebih menyeimbangkan pelaksanaan
pembangunan, dalam arti memanfaatkan ruang dan sumber daya secara efisien.
Pendekatan bottom-up mengisyaratkan kebebasan daerah atau wilayah untuk
merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah
masing-masing.
Pola migrasi penduduk di Indonesia belum mengalami perubahan dengan arus migrasi masih berada di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera. Migrasi keluar dari Pulau Jawa terbanyak masuk ke Pulau Sumatera. Demikian juga migrasi keluar dari pulaupulau di Kawasan Timur Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Maluku, kebanyakan masuk ke Pulau Jawa.
Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa pola migrasi di Indonesia belum mampu mendorong pembangunan sumber daya manusia secara merata diseluruh kawasan Indonesia. Ada kecenderungan migrasi internal yang terjadi justru berdampak negatif pada pembangunan daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia. Tenaga kerja terdidik dari luar Jawa pada umumnya pindah ke Pulau Jawa terutama ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebaliknya penduduk yang pindah keluar Pulau Jawa pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kurangnya kesempatan kerja di luar Pulau Jawa merupakan alasan utama mengapa para tenaga kerja terdidik dari Pulau Jawa enggan pindah ke luar Pulau Jawa. Selain itu terpusatnya kegiatan ekonomi, pendidikan, dan politik di Pulau Jawa juga memberikan pengaruh pada pola perpindahan penduduk tersebut.
Berbagai studi dan data memperlihatkan bahwa gerak pepindahan penduduk sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, beberapa negara mengembangkan kebijaksanaan pemindahan penduduk yang lebih terarah. Vietnam dan Cina memiliki kebijaksanaan langsung untuk mengarahkan persebaran penduduk mereka. Beberapa tahun setelah perang berakhir, Vietnam telah berhasil memindahkan penduduk dari daerah perkotaan ke daerah perdesaan dan dipekerjakan pada lahan-lahan pertanian yang ada. Cina pada tahun 1958 mengadakan registrasi rumah tangga. Melalui registrasi rumah tangga tersebut maka penduduk diklasifikasikan kedalam dua katagori, yaitu penduduk kota dan penduduk desa. Tujuannya adalah tidak saja untuk memonitor perpindahan penduduk, namun juga mempertahankan agar penduduk tetap berada di daerah sesuai dengan tempat kelahirannya (Kim:1990). Kebijaksanaan ini dikenal dengan semboyan “leave the land not the village.”
Pola migrasi penduduk di Indonesia belum mengalami perubahan dengan arus migrasi masih berada di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera. Migrasi keluar dari Pulau Jawa terbanyak masuk ke Pulau Sumatera. Demikian juga migrasi keluar dari pulaupulau di Kawasan Timur Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Maluku, kebanyakan masuk ke Pulau Jawa.
Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa pola migrasi di Indonesia belum mampu mendorong pembangunan sumber daya manusia secara merata diseluruh kawasan Indonesia. Ada kecenderungan migrasi internal yang terjadi justru berdampak negatif pada pembangunan daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia. Tenaga kerja terdidik dari luar Jawa pada umumnya pindah ke Pulau Jawa terutama ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebaliknya penduduk yang pindah keluar Pulau Jawa pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kurangnya kesempatan kerja di luar Pulau Jawa merupakan alasan utama mengapa para tenaga kerja terdidik dari Pulau Jawa enggan pindah ke luar Pulau Jawa. Selain itu terpusatnya kegiatan ekonomi, pendidikan, dan politik di Pulau Jawa juga memberikan pengaruh pada pola perpindahan penduduk tersebut.
Berbagai studi dan data memperlihatkan bahwa gerak pepindahan penduduk sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, beberapa negara mengembangkan kebijaksanaan pemindahan penduduk yang lebih terarah. Vietnam dan Cina memiliki kebijaksanaan langsung untuk mengarahkan persebaran penduduk mereka. Beberapa tahun setelah perang berakhir, Vietnam telah berhasil memindahkan penduduk dari daerah perkotaan ke daerah perdesaan dan dipekerjakan pada lahan-lahan pertanian yang ada. Cina pada tahun 1958 mengadakan registrasi rumah tangga. Melalui registrasi rumah tangga tersebut maka penduduk diklasifikasikan kedalam dua katagori, yaitu penduduk kota dan penduduk desa. Tujuannya adalah tidak saja untuk memonitor perpindahan penduduk, namun juga mempertahankan agar penduduk tetap berada di daerah sesuai dengan tempat kelahirannya (Kim:1990). Kebijaksanaan ini dikenal dengan semboyan “leave the land not the village.”
Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah
adalah: (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masingmasing daerah; dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. Kata kunci
pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan
desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan
yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing.
Kata kunci kedua mengandung makna pada adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah memiliki potensi baik alam, sumber daya manusia maupun kondisi
geografis yang berbeda-beda, yang meyebabkan ada daerah yang memiliki potensi
untuk berkembang secara cepat dan sebaliknya ada daerah yang kurang dapat
berkembang karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi
antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai “pengatur
kebijaksanaan pembangunan nasional” tetap diperlukan agar timbul keselarasan,
keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah baik yang memiliki potensi
yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi.
Dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sitem pajak,
keamanan warga, sistem perbankan dan berbagai pengaturan lain yang dapat diputuskan
daerah sendiri, akan dimungkinkan perpindahan penduduk secara sukarela dengan
tujuan semata-mata peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Akan berbeda
dengan perpindahan yang lebih berupa suruhan, desakan atu malah setengah paksaan,
yang bahkan hanya akan menghasilkan mobilitas yang bersifat “dukalara” semata.
Pengalaman dan kenyataan yang ditemui dalam arus dan perpindahan penduduk
di negara-negara bagian Amerika Serikat ataupun negara-negara anggota Uni Eropa,
telah menunjukkan bahwa otonomi yang nyata dan bertanggung jawab telah berhasil
mengarahkan mobilitas penduduk yang bersifat sukarela tersebut.
Materi Tambahan Klik Disini
Jadi, bagaimana pandangan Anda terkait strategi pembangunan nasional agar dapat mempengaruhi mobilitas dan
migrasi penduduk?
Daftar Pustaka
Adelman, Howard, 1988. Refugee or Asylum: Aphilosophical Perspective, Journal OF
Refugee Studies,I (1) 7-19.
Beyer, Gunther, 1981 The Political refugee: 25 Yearslater, Internasional Migration
Review,(1), 26-34.
Badan Pusat Statistik, 1997 Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia, hasil
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, Seri S4, Jakarta, Indonesia.
Broek, Julien Van den, 1996 The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar,
Cheltenham, UK-Brookfield, USA.
Douglas, Mike, 1992 Structural Change and the Urbanization in Indonesia:From the
“Old to the “New” International Division OF Labor, University of Hawaii
Press, USA.
Hansen, 1981 “Devlopment From Above: The Center Down Development Paradigm” in W.B. Stohr and F. Taylor (eds) Development From Above or Below? The
Dialectics OF Regional Planning in Developing Countries, Chichester: John
willey and Sons.
Kim, Won bae, 1990 Population Distribution Policy in China: A Review, paper
published in Regional Development Dialogue, Vol. 11, No.1, Spring 1990.
King, Russel, 1996 “Migration in a World Historical Perspective” in Broek, Julien van
den, 1996, The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar, Cheltenham,
UK-Brookfield, USA.
Kunz, E.F, 1973 “The Refugee in flight: Kinetic Models and Forms OF Displacement”.
International Migration Riview, VII (2), summer, 125-146.
Peterson, William, 1969, Population, 2 Ed. London: McMillan, 289-307.
Piore, Michael J, 1979, Bird OF Passage: Migrant Labor in Industrial societies,
Cambridge University Press.
Potter, R.B, 1985, Urbanization and Planning in the Third World: Spatial Perceptions
and Publics Participation, London: Croom Helm.
Ramelan, Rahadi, 1994, Arah Kebijaksanaan Pembangunan di Kawasan Timur
Indonesia dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua, makalah dipresentasikan
pada Seminar Sehari Pengembangan Kawasan Timur Indonesia , Kantor Menteri
Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, Desember 1994.
Rondinelli and Ruddle, K, 1978, Urbanization and Rural Development: A Spatial
Policy For Equitable Growth, New York: Praegar Publisher.
Stark, Odded, 1991, The Migration OF Labor, Cambridge: Basil Blackwell.
Taylor, J. Edward, 1986, “Differential Migration, Networks, Information and Risk”, in
Odded Stark (ed) Research in Human Capital and Development, Vol.4,
Migration, Human Capital and Development, Greenwich, Coon: JAI Press, 147-
177.
Tjahyati, Budi, 1995, Mobilitas Penduduk dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan
Daerah, makalah disajikan dalam pertemuan “Kelompok Kerja Pengembangan
Kebijaksanaan Pengarahan Persebaran dan Mobilitas Penduduk, Jakarta: Kantor
Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
Wilkinson, R.G, 1973, Poverty and Progress-An Ecological Model of Economic
Development, London: Menthuen.
Wirosuhardjo, Kartomo, et.al. 1986, Urbanization and Urban Policies: Lessons
Learned From East and Southeast Asian Experiences, State Ministry For
Population and Env ironment, Jakarta, Indonesia.
Zolberg, Aristide, R, 1978, “International Mvv igration Policies in Changing World
System” in W.H. McNeill and R.S. Adams (eds), Human Migration: Patterns
and Policies,Bloomington: University of Indiana Press, 241-186.
…, 1989 “The Next Wave: Migration Theory For a Changing World”, International
Migration Review, XXII (3), Fall, 403-430.
0 comments