Sumber Daya Manusia dibidang Pertanian dan Pedesaan


Ponorogo-Abad 21 menjadi waktu yang tepat bagi negara-negara berkembang yang memiliki potensi pertanian untuk mengembangkan sistim pertanian berkelanjutan yang juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang menunjang sistim tersebut. Peningkatan SDM tidak hanya dibatasi peningkatan produktivitas petani. Namun, juga peningkatan kemampuan petani untuk lebih berperan dalam proses pembangunan.

Persoalan krusial dalam peningkatan SDM adalah rendahnya partisipasi petani dalam pengambilan keputusan pembangunan pertanian. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak adanya suatu organisasi yang memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan kepentingan petani di forum nasional di negara berkembang. 

Peningkatan SDM selain berkaitan dengan peningkatan produktifitas petani juga diarahkan pada peningkatan partisipasi politik petani dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka melalui organisasi petani mandiri. Peran aktif pemerintah dalam peningkatan SDM petani antara lain melalui reorientasi sistim penyediaan layanan dan pendanaan sistim informasi pertanian. 

Revitasilasi kinerja kelembagaan dan penyuluh pertanian akan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan SDM pertanian. Selain itu pemberian ruang yang cukup untuk sektor swasta melalui privatiasi penyuluhan juga akan mendorong terciptanya penyediaan layanan  informasi pertanian yang lebih kompetitif, efisien, dan efektif. 

Peningkatan SDM petani dan pertanian sangat erat kaitannya dengan upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan\/ community empowerment. Dalam pengertian luas pemberdayaan merupakan proses memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan.

Lingkungan strategis mencakup lingkungan dan mekanisme produksi, ekonomi, sosial, dan ekologi. Terkait mekanisme produksi pemberdayaan semestinya mendorong petani agar mampu memanfaatkan sumber daya produksi yang dimilikinya sehingga mampu berproduksi secara efisien dan menjamin pemenuhan pangan serta memperoleh surplus yang dapat dipasarkan. Masyarakat umumnya memiliki institusi lokal yang sebenarnya dapat dikaitkan dengan usaha-usaha kerja sama produktif. 

Kegagalan pengorganisasian kelompok masyarakat untuk usaha produksi sering terjadi karena dalam banyak kasus hal tersebut sering dilatarbelakngi oleh target-target keproyekan. Umumnya setelah proyek selesai maka kelompok yang terbentuk juga akan bubar. Dalam studi Subejo dan Iwamoto (2003) diketahui masyarakat lokal di pedesaan Jawa dengan keterbasan sumber daya produksi telah membangun berbagai institusi pertukaran kerja yang ternyata sangat efisien dan efektif dan dapat berlangsung dalam kurun waktu yang lama secara terus menerus. 

Terkait dengan mekanisme ekonomi sebenarnya telah banyak upaya untuk menciptakan institusi ekonomi bertujuan meningkatkan akses petani atau masyarakat terhadap pasar. Namun, nampaknya kelembagaan ekonomi yang ada belum dapat sepenuhnya memberikan manfaat secara ekonomi. 

Pembentukan koperasi pedesaan pada banyak kasus justru mengalami kegagalan karena tidak melibatkan masyarakat secara penuh. Idealnya koperasi petani mampu menyediakan kebutuhan petani baik dalam hal sarana produksi, permodalan, maupun pemasaran produk yang ada akhirnya memberikan nilai tambah pada petani atau masyarakat sekitar.

Dalam mekanisme ekologi ini mencakup aspek lingkungan sekitar. Termasuk di dalamnya bagaimana masyarakat diberi kesempatan dan didorong untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya ekologi-nya secara berkesinambungan. Antara lain infrastuktur (saluran irigasi, jembatan, jalan, pasar, dan lain-lain), hutan masyarakat, penggembalaan umum, gunung, sungai, dan lain sebagainya.
Beberapa ahli banyak memberikan kritik bahwa selama ini masyarakat cenderung hanya dilibatkan sebagai obyek dalam pengelolaan sumber daya ekologi. Mereka jarang sekali dilibatkan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, serta pengelolaan sumber daya ekologi tersebut. 

Subejo dan Iwamoto (2003) melaporkan bahwa masyarakat lokal memiliki kearifan dan kemampuan mengelola sumber daya ekologi. Di daerah pegunungan, di mana fisik ekologi sangat tidak menguntungkan untuk produksi pertanian, masyarakat lokal telah menciptakan institusi kerja lokal terkait dengan pengelolaan sumber daya ekologi.

Institusi tersebut antara lain berfungsi dalam pembangunan dan pemeliharaan teras lahan pertanian serta kolam penampungan air. Tindakan kolektif tersebut memberikan kontribusi nyata dalam pelestarian sumber daya ekologi dan konservasi lahan. 


Secara umum kemampuan hubungan sosial di pedesaan masih kuat. Sebagai contoh kasus meskipun di daerah pedesaan yang memiliki mobilitas dan akses tinggi misalnya yang terletak di pinggiran kota masyarakatnya masih memberikan prioritas yang tinggi terhadap hubungan sosial pada saat kejadian darurat (kematian, kebakaran, longsor, banjir, dan lain sebagainya). 

Pekerjaan pemeliharaan fasilitas publik, pekerjaan yang terkait dengan permintaan bantuan (pembangunan rumah, upacara-upacara). Di daerah pegunungan hubungan sosial masih sangat kuat dan mengakar. Termasuk kesediaan untuk saling membantu dalam pengerjaan usaha tani dan pekerjaan rumah tangga lainnya. 

Bagaimana pun juga membangun SDM pertanian tidak terlepas dari pembangunan dalam berbagai aspek strategis petani. Yaitu aspek produksi dan ekonomi, sosial, dan ekologi. Keberhasilan penguatan aspek tersebut yang akan menentukan apakah kualitas SDM pertanian dan pedesaan akan meningkat nyata atau berjalan di tempat.

Tulisan ini pernah dimuat di detik.com

Referensi dari :



Subejo

Agricultural and Resource Economics The University of Tokyo


81-08067454439

0 comments